Kata orang cinta itu begitu menyenangkan, cinta itu adalah anugerah, cinta itu adalah sumber kebahagiaan. Tapi bagiku, cinta itu sumber penderitaanku, cinta yang mebuatku terpuruk seperti saat ini. Hingga aku tidur di pembaringan dengan tenang. Cintalah yang mengantarku ke tempat ini sekarang.
Semua berawal saat aku mengenal si Uci.
Uci adalah gadis cantik yang baru aku kenal di desaku. Kebetulan dia dan
keluarganya itu baru pindahan dari luar kota. Uci adalah anak yang supel dan
enak untuk diajak bergaul. Anaknya cantik, ramah, dan sopan kepada semuanya.
Semenjak Uci tinggal di desaku, orang yang pertama dikenalnya adalah aku.
Sehingga kemanapun dia pergi selalu mengajak aku untuk menemaninya. Dia sering
minta kepadaku untuk ditunjukan tempat – tempat yang indah dan menarik di
desaku.
Suatu hari Uci mengajakku untuk berjalan
– jalan. Waktu itu sore hari, kebetulan matahari sudah mulai berkurang
panasnya. Uci meminta aku untuk menunjukan tempat yang sudah aku janjikan,
tempat yang indah, tempat yang begitu sejuk dan menyejukkan hati. Karena
sebelumnya aku sudah berjanji untuk menjunjukannya pada Uci. Akhirnya kita
berangkat dengan mengendarai motor menuju ke tempat yang sudah aku janjikan.
Dalam perjalanan Uci terlihat begitu terpesona melihat pemandangan pedesaan
yang belum pernah ia lihat di kota besar. Memang desa kami itu desa yang luar
biasa, di sekeliling pedesaan kami terdapat pegunungan yang menjulang tinggi
seolah berlomba menggapai langit, di atasnya terdapat pohon – pohon hijau yang
menghiasi tubuh pegunungan itu. Jika pagi menjelang, maka seolah ada selimut
putih yang menyelimuti pegunungan itu, terlihat begitu mempesona. Jika sore
menjelang, terlihat mentari seolah bersembunyi di sela – sela pegunungan itu
dengan rona memerah, sungguh indah sekali.
“heeiii………….”
Sesekali ku lambaikan tangan di depan
muka manisnya yang seolah bengong.
“iihh…. Apaan sih,, ??”
“Nggak usah bengong gitu kale… biasa
aja…”
“Eh,, tau nggak, baru kali ini aku
melihat alam yang seindah ini…. Wah desa kamu memang the best deh, beautiful”
“Yahh,,,, ini mah belum apa – apa… masih
ada yang lebih bagus lagi”
“Masa sih… dimana,,, kita kesana yuuk..”
“Kapan – kapan aja deh… ini udah sore,,
waktunya balik”
“Ahhh nggak apa – apa,,, ayo kesana..”
uci merengek.
“Mau pulang nggak,, kalau nggak aku
tinggal neh…. Hehe…”
“Iyaa………”
Sepertinya Uci agak kesal karena tidak
diajak ke tempat yang lebih indah lagi, tapi mau bagaimana lagi matahari hampir
menghilang di sela – sela bukit. Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang.
Akhirnya kami pulang. Dalam perjalanan Uci hanya diam tanpa kata. Sepertinya
dia masih kesal sama aku, karena tidak ditunjukan tempat yang lebih indah.
***** ***** *****
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam… eh Dito,,, silakan
masuk nak,. Itu si Uci lagi di belakang sama mama’nya, sepertinya lagi bikin
sesuatu, silakan masuk aja”.
“Iya pak,,, permisi pak ya…”
Untuk pertama kalinya aku masuk kerumah
Uci, ternyata ayahnya begitu ramah, dan sudah kenal sama aku. Pasti si Uci neh
yang cerita. Langsung saja aku masuk ke ruang tamu dan duduk disana. Tidak
berapa lama Uci dating dengan sepiring kue yang baru saja dibikinnya.
“Silakan cicipi,, ini enak lohh asli
buatan Uciii….”
“Promosi ni yeh,,,”
“Iya donk,, coba dulu ya…. Nanti tau
gimana rasanya kue buatan cewe cantik kaya aku.. hehe..”
“Hmmmhh… dicoba ya,,,”
Kuambil satu buah kue yang ada di piring
Uci.
“Enakk kan siapa dulu yang bikin…??” Tanya
uci dengan nada kayak anak kecil.
Tapi ternyata kue yang aku makan rasanya
hambar terus ada sedikit pahit. Kuenya gosong. Waduhh dasar Uci,, tidak
professional,, tapi dengan terpaksa aku bilang “iya kue bikinan kamu Ennak…”
dengan muka yang tidak karuan. Dengan cepat – cepat kuminum air sebanyak –
banyaknya biar kenyang. Kulihat sepintas mamaknya Uci masuk ke dalam menahan
tawa. Huffhhh… nasib nasib. Tapi tidak apa – apa lah, itung – itung perkenalan
pertama ke rumahnya. Setelah itu kami lanjutkan dengan ngobrol banyak dengan
keluarga Uci. Ayah Uci ternyata orangnya seneng bercanda, jadi betah lama –
lama disana. Sepertinya Uci sudah menceritakan hal yang berlebihan tentang aku
kepada orangtuanya. Ya meskipun yang diceritakannya hal – hal yang positif tapi
aku jadi takut, takut kalau ditanya ini itu nanti ujung – ujungnya tidak tahu,
hehe….. khawatir.
Tidak terasa waktu sudah sore, mentari
kini mulai memerah lagi di ujung barat sana. Bayang – bayang pepohonan terlihat
lebih tinggi dibanding pohonnya sendiri. Aku bermaksud untuk berpamitan,
sebenarnya ingin lama – lama disitu, soalnya mereka keluarga yang ceria dan
humoris, makannya menyenangkan. Tapi aku tetap harus pulang.
“Ssst… besok kita main ke tempat yang
indah ya…” Uci berbisik dengan cepat.
“Besok?? Sepertinya aku tidak bisa,
besok aku mau ngantar mamaku ke tempat arisan keluarga, bagaimana kalau lusa?”
“yahh.. kalau begitu oke deh,, awas yah
kalau bohong..”
“Iya aku janji deh,, kali ini beneran…”
“Ya sudah sana pulang,,, ati – ati…”
Akhirnya aku pulang dengan tidak bisa
menahan raut senyum di wajahku. Entah mengapa mukaku ini serasa pengen senyum
terus, serasa ada yang menarik otot – otot wajahku hingga tak tertahan lagi.
***** ***** *****
Dua hari kemudian.
Si Uci sudah stand by di depan rumahku
sejak jam 09.00 pagi. Sepertinya dia tidak mau lagi kena tipu sama aku, hehe…
soalnya kemarin – kemarin aku pas janji mengajak dia, eh aku malah pergi dengan
teman – temanku. Aku lupa akan janjiku waktu itu, pas dia Tanya, aku cuman bisa
senyam – senyum saja minta maaf. Tapi sekarang lain, dia sudah sampai duluan di
depan rumahku, padahal tidak ada niatan untuk membatalkan janjiku. Semenjak
kemarin aku main kerumahnya, sepertinya telah ada hal lain yang memasukki
pikiranku. Aku masih belum yakin sih, tapi perasaan ini malah semakin
menyiksaku.
“Cepetaann ihh… ayooo,,, hayoo.. mau
pergi lagi yah…?? Awas yah kalau kamu kabur lagi..”
“Iya-iya… sekarang enggak lagi kok…
tenang saja…”
“Iya tapi cepetan dong….”
“Baiklah tuan putri.” Aku mulai
memujinya.
Akhirnya kami berangkat dengan
mengendarai motor. Disana kulihat raut bahagia di wajah manis Uci. Tapi tiba –
tiba di tengah perjalanan motor yang kami kendarai mogok. Padahal tidak ada
bengkel, jauh kemana – mana lagi. Kucoba otak – atik tu motor tidak bisa hidup
juga. Setelah berapa lama akhirnya kita putuskan untuk mendorong motor itu sama
– sama. Awalnya Uci agak keberatan, tapi akhirnya mau juga.
“Duuh… kayaknya ni tadi ada yang enggak
mandi neh…” Kucoba membuka percakapan dengan nada bercanda.
“Enak aja,, kamu tuh yang nggak mandi…”
“Lho bukannya kamu yang datang udah pagi
kerumah, pasti cuman cuci muka yah,, hahaha….”
“Kamu yang enggak mandi…!!”
“Kamu…!!!”
“Kamu…!!!”
“Kamu… ihhh…… sebel, sebel, sebel,,,”
Uci mencubit perutku, rasanya sakit
banget. Akhirnya kubalas cubit pipinya, dia malah tending kakiku. Karena asik
bercanda, aku lupa mendorong motorku, akhirnya motor terjatuh, dan kami
berduapun jatuh. Gubrak!!!
“hahahahahaha…..!!” akhirnya kami berdua
tertawa dengan sekencang – kencangnya.
***** ***** *****
Esok harinya kudengar kalau Uci ternyata
sakit, mungkin karena kecapean kemarin. Karena kupikir karena kecapean aja,
maka aku tidak menjenguknya. Tapi tiba – tiba mamaknya menelponku, katanya Uci
sudah dibawa ke rumah sakit. Aku sangat terkejut, aku kira tidak separah itu.
Mamaknya bilang, Uci itu jantungnya lemah jadi tidak bisa capek sedikit pasti
langsung jatuh sakit. Akhirnya aku langsung buru – buru pergi ke rumah sakit
tempat Uci dirawat. Sesampainya disana kulihat ada Mamaknya sedang duduk di
ruang tunggu.
“Assalamu’alaikum mak…”
“Wa’alaikumussalam,, eh dek Dito,, datang
sama siapa dek?”
“Sendirian mak, oya gimana keadaan si
Uci mak?”
“Enggak apa – apa kok dek, biasa lah
kecapean habis jalan – jalan kemarin, akhirnya jantungnya kumat deh”
“Ini semua salahku mak, coba kemarin
motorku enggak mogok, pasti enggak begini jadinya…”
“Enggak apa – apa ko dek,, Uci memang
punya riwayat lemah jantung, jadi tidak boleh capek – capek, kemarin mamak lupa
ngasih tau kamu dek,, kamu enggak salah apa – apa”
“Makasih mak, sebagai gantinya biar aku
saja yang nungguin disini, emak pulang saja dirumah istirahat…”
“Enggak usah dek, kalau mau nungguin
biar kita bareng saja nunggui disini, sekalian cerita – cerita,, nanti bapak
juga datang, tuh lagi ambil obat”.
Akhirnya aku, Emak, sama Bapaknya Uci
sama – sama menunggui Uci di rumah sakit. Sambil menunggu disana, kami banyak
bercerita. Emak bercerita banyak tentang si Uci, sepertinya Uci ini anak yang
sangat disayang sama keluarganya. Pokoknya Uci tidak boleh sedikitpun merasa
sedih. Sedikit saja dia merasa sedih, maka bisa – bisa langsung pingsan.
Tubuhnya langsung lemas seperti tidak punya tulang. Dia juga tidak boleh
terlalu capek, jika dia terlalu capek maka tubuhnya juga bisa lemas dan
langsung masuk rumah sakit.
Mendengar cerita mereka aku jadi merasa
bersalah. Aku seperti telah banyak melakukan kesalahan, terutama kemarin pas
aku suruh si Uci untuk mendorong motorku yang mogok. Itu semua karena
ketidakahuanku, aku jadi merasa bodoh telah melakukan hal itu kepada orang yang
aku cintai. Apa? Cinta? Yah sepertinya aku telah jatuh cinta sama si Uci.
Disadari atau tidak perasaan itu telah muncul dari dalam hatiku. Semenjak aku
sering bermain bersamanya, mungkin inilah yang disebut dalam istilah “witing
tresno jalaran soko kulino” ah.. tapi aku masih saja merasa bersalah. Aku telah
melukai orang yang aku cintai. Sungguh aku menyesal.
Dalam perasaan sesalku yang paling dalam
aku tertidur di bangku ruang tunggu di depan ruang ICU. Dalam keadaan setengah
sadar aku mendengar sebuah percakapan yang cukup jelas di telingaku.
“Maaf pak, sepertinya anak bapak harus
segera dioperasi, jika tidak maka akibatnya bisa fatal”
“Apa tidak bisa dengan cara lain dok,,
kami tidak punya cukup biaya untuk melaksanakan operasi itu”
“Tidak ada pak,, jantung anak bapak
sudah terlalu lemah, kami tidak punya alternatif lain selain operasi, segera
bapak putuskan, kalau tidak kami tidak bisa bertanggung jawab pak”
Aku terbangun dan melihat bapak sedang
duduk tertunduk lesu, sementara mamak masih tertidur duduk di dekat ranjang
Uci. Kudekati bapak dan duduk di sampingnya.
“Pak, apa ada masalah??” tanyaku lirih
“Uci harus segera dioperasi, kalau tidak
dia bisa mati, tapi bapak tidak punya cukup biaya dek..”
“Memang berapa biaya buat operasinya
pak?”
“50 Juta!”
“Degg!!!!!” perasaanku tidak karuan saat
mendengar perkataan dari bapaknya Uci. Aku bingung harus berbuat apa. Aku yang
tadinya masih ngantuk jadi tidak ngantuk lagi. Yang aku pikirkan hanyalah
darimana mendapatkan uang sebanyak itu.
Lama aku berfikir, hingga adzan subuh
telah dikumandangkan. Sepertinya aku harus sholat, setelah sekian lama aku
jarang sekali melaksanakan sholat. Aku seperti merasa terpanggil untuk pergi ke
mushola dekat rumah sakit itu. Aku ambil air wudhu rasanya dingin dan
menyejukkan, setelah itu aku melaksanakan sholat berjamaah. Ohh aku seperti
merasakan ketenangan yang sudah lama tak kurasakan. Selesai sholat aku berdoa
memohon keselamatan dan kesembuhan buat Uci. Aku memohon untuk kesembuhan Uci
orang yang aku cinta dan sayang. Kuteteskan airmata untuk kekasihku yang sedang
terbaring lemah di dalam sana.
Setelah aku sholat di mushola aku segera
pergi keluar untuk membelikan makanan buat mamak dan bapak. Karena aku tahu
semalaman mereka cuman makan sedikit saja. Aku belikan mereka sarapan dengan
cepat, khawatir kalau sudah kelaparan. Setelah membeli sarapan aku kembali ke
ruang tunggu, namun ketika sampai di ruang tunggu aku tidak melihat siapa –
siapa disana. Kulihat di dalam ruangan ICU, ternyata Uci juga sudah tidak ada.
Akhirnya aku cari dia kemana – mana juga tidak ketemu. Hingga ada seorang
perawat yang lewat di ruangan itu, terus aku bertanya kepadanya.
“Maaf bu, pasien yang di ruangan ini
kemana yah?”
“Oh maaf mas, saya orang baru disini
jadi saya tidak tahu..”
“Oh kalau begitu makasih ya bu,,”
“Coba Tanya ke ruang yang disana
mass…..” sambil menunjuk ke ruang perawat yang di ujung.
“Iya,, makasih ya bu..”
“Iya sama – sama.”
Akhirnya dengan berlari aku menuju ke
ruang perawat yang ditunjuk oleh suster tadi. Kuketuk pintu kemudian aku masuk
ke ruangan itu.
“Maaf permisi, saya mau Tanya pasien
yang berada di ruang ICU itu kemana yah bu?”
“Maaf mas, nama pasiennya siapa yah?”
“Uci bu..”
“sebentar ya saya cek,,” sambil membuka
buku data pasien.
“Iya bu…”
“Oh Ny. Uci sudah diantarkan pulang tadi
pagi pas jam 05.00 pak,,”
Dalam hatiku bertanya, “kok bisa secepat
itu sembuh yah. Apa mungkin Allah mengabulkan doaku tadi pas sholat. Tapi, masa
iya sih secepat itu sembuh. Tapi Alhamdulillah berati Uci memang sudah sembuh”
tapi untuk lebih jelasnya aku bertanya lagi sama suster.
“Maaf sus, diantar pake apa yah? Kok
tidak menunggu aku dulu tadi.”
“Ohh kebetulan tadi diantar pakai
ambulan karena nyawanya sudah tidak bisa terselamatkan mas.. tadi juga ada
bapak – bapak pesan kalau ada yang nanya suruh langsung saja pulang kerumah.”
Mendengar hal itu hatiku langsung tidak
karuan. Suara suster itu terdengan lebih keras dibanding suara petir yang
paling keras menyambar telingaku. Aku tidak bisa berkata apa – apa lagi. Aku
keluar dari ruangan itu dengan perasaan kacau dan tidak karuan, entah apa yang
ada dalam pikiranku.aku tak bisa menggambarkan perasaanku lagi.
Aku menuju ke parkiran motor dan
langsung tancap gas pulang menuju kerumah untuk melihat Uci untuk yang terakhir
kalinya. Dalam perjalanan aku seperti terbang rasanya. Seolah jalanan ini tidak
ada kendaraan lain selain daripada motorku. Aku langsung tancap saja gas
motorku tanpa pikir panjang. Tiba – tiba dari arah depan kulihat ada sekelompok
orang yang memakai baju berwarna hitam berjalan menju ke arahku. Mereka seperti
orang – orang yang sedang mengiring jenazah Uci. Tapi entah mengapa aku tak
dapat menghentikan laju motorku, dan gerombolan orang pengantar jenazah itu
semakin dekat. Hingga akhirnya “bruakkk!!!!@#@@@!!!!!>>>>....,,###,,..???”
Ternyata aku menabrak sebuah truck
bermuatan pasir, hingga motorku ringsek tidak berbekas bagaikan kapas yang
berhamburan. Dan tubuhku sudah tidak berbentuk lagi. Tubuhku hancur dan kakiku
patah terlindas truck itu. Mukaku sudah tidak dapat dikenali lagi. Dan sekarang
aku berada di pembaringan terakhir. Tapi yang membuat aku sedih, ternyata
pembaringan Uci orang yang semasa hidup aku cintai dan kasihi sekaran sangat
jauh dari tempat pembaringanku. Jasad Uci entah berada dimana sekarang. Kini
aku hanya tersiksa mencari cintaku yang entah dimana.
--Selesai--
Untuk sahabatku yang sudah berkorban
untuk cintanya. Semoga Allah menerima Amal ibadahmu. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar